Barat Memecah-belah Dunia Islam (Berkaca pada Kasus Irak)

20140815-168-cover1-500

Dunia Islam makin terkoyak. Barat makin bernafsu untuk memecah-belah Dunia Islam. Kasus Irak adalah contohnya. Jauh sebelum Irak diserbu dan diduduki AS, AS telah merencanakan memecah-belah Irak menjadi tiga wilayah: wilayah yang dikuasai Sunni, Syiah dan Kurdi. Kini, upaya pecah-belah Irak oleh AS yang didukung Barat makin kentara.

Strategi pecah-belah sebetulnya bukanlah perkara baru yang diterapkan Barat kafir penjajah atas Dunia Islam. Bahkan keruntuhan Khilafah yang terakhir, Khilafah Turki Utsmani, tidak lain merupakan sukses besar Barat dengan strategi pecah-belahnya. Betapa tidak. Sejak keruntuhan Khilafah Turki hingga kini, Dunia Islam sulit bersatu. Pasalnya, sejak itu Barat dengan cerdik membelenggu masing-masing negeri Muslim yang merupakan pecahan Khilafah itu dengan ikatan nasionalisme dan nation-state (negara-bangsa). Kedua ikatan ini nyaris melumpuhkan negeri-negeri Islam. Akibatnya, masing-masing sulit untuk melangkah ke arah persatuan kembali Dunia Islam, apalagi di bawah institusi Khilafah Islam yang pernah menaungi mereka.

Untuk saat ini, Irak tentu bukan yang terakhir dari korban pecah-belah Barat. Setelah sukses di Irak, sangat mungkin strategi yang sama akan diterapkan Barat di belahan negeri Islam yang lain, tak terkecuali negeri yang bernama Indonesia. Adanya GAM di Aceh pada masa lalu, OPM di Papua yang masih aktif hingga kini, juga RMS di Maluku yang semuanya didukung Barat, adalah di antara benih-benih yang bisa mengancam keutuhan negeri ini. Jika kita tidak waspada terhadap setiap manuver dan intrik politik Barat, disintegrasi negeri ini sangat mungkin terjadi, sebagaimana yang sedang menimpa Irak saat ini.

Karena itu tentu penting bagi kita untuk terus-menerus menyuarakan persatuan umat Islam secara global. Hal demikian tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengajak seluruh komponen umat Islam di seluruh dunia untuk sesegera mungkin menegakkan kembali institusi pemerintahan global, yakni Khilafah Islam. Hanya Khilafahlah yang akan sanggup menyatukan umat sedunia, sebagaimana hal itu telah dibuktikan selama lebih dari 14 abad pada masa lalu.

Irak, Negeri 1001 Malam, kini menghadapi 1001 persoalan. Bukan kedamaian yang didapatkan setelah Saddam Hussein ditumbangkan Amerika Serikat tahun 2003 lalu, justru rakyat menghadapi situasi perang saudara yang mengerikan.

Situasi pecah-belah ini mulai terasa akhir-akhir ini. Konflik sektarian kian memanas. Perdana Menteri Nuri al-Maliki yang telah berkuasa sejak 2006 menghadapi ketidakpercayaan rakyatnya, khususnya kaum Sunni, karena kediktatorannya.

Al-Maliki mendominasi tentara Irak, unit operasi khusus, intelijen dan kementerian utama pemerintah. Pada Desember 2011, ia melarang Wakil Perdana Menteri Sunni Saleh al-Mutlaq dari pertemuan kabinet. Ia pun mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tariq al-Hashimi. Al-Maliki telah menjadi seorang tiran. Dia mengisi pemerintahannya dengan mereka yang setia kepada dirinya, terutama kalangan Syiah dari selatan Irak. Dia menghapus peran-serta Sunni dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua. Bahkan dia memimpin kampanye penyiksaan, pembunuhan dan penganiayaan terhadap kaum Sunni.

Maliki membubarkan milisi Sahwa. Ia melanggar janji untuk mengintegrasikan mereka ke dalam tentara reguler. Milisi dari kelompok Sunni pun sepenuhnya disingkirkan dan dihilangkan dari pemerintahnya. Akibatnya, mereka mulai protes dengan dukungan milisi seluruh provinsi dan para pemimpin suku. Kamp protes didirikan. Orang-orang menuntut kerja. Mereka menunjukkan kemarahan atas penangkapan di bawah bendera anti ‘terorisme’. Mereka pun menuntut perwakilan mereka di pemerintahan.

Namun, Al-Maliki tak menggubris tuntutan mereka. Malah antek Amerika ini menembaki sebuah kamp protes di Hawija. Pada titik ini protes berubah menjadi perlawanan bersenjata.

Sebuah struktur komando didirikan di Fallujah dalam minggu-minggu pertama pertempuran. Komando ini terdiri atas para pemimpin suku dan mantan pejabat militer. Namanya Dewan Jenderal untuk Revolusi Irak. Dewan ini dipimpin oleh Syaikh Abdullah Janabi. Ia juga memimpin Dewan Syura dari Mujahidin di Fallujah pada tahun 2004. Ia menyerukan kerjasama antar berbagai faksi di Fallujah.

Pemimpin senior lain, Mayor Jenderal Muntashir al-Anbari, menegaskan, “Keputusan untuk membentuk kelompok pertempuran Sunni diambil oleh ulama dan suku, dimulai dari Hawija sebagai protes atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Irak. Puluhan tewas dan terluka dalam insiden itu.”

Al-Anbari juga menegaskan bahwa pembentukan kelompok perlawanan diputuskan dalam pertemuan semua kelompok Sunni, selain ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). ISIS, kata Anbari, telah diminta untuk bergabung dengan kelompok perlawanan ini beberapa bulan setelah kelompok perlawanan ini dibentuk. ISIS pun diminta menjadi bagian dari aksi militer Sunni. Namun, ISIS belum bisa diterima karena permintaan yang belum bisa dipenuhi. “ISIS hanyalah 30 persen dari para pejuang perlawanan dan tidak bisa menggambarkan kelompok perlawanan yang lainnya,” kata Anbari.

Situs Monitor merinci suku-suku yang berbeda yang melawan rezim Malaki. Monitor juga menjelaskan bahwa ISIS hanyalah salah satu dari empat kelompok yang berperang melawan rezim tersebut. Meskipun demikian, Pemerintah Irak memperlakukan semua pejuang sebagai teroris. Suku-suku telah bersatu dengan faksi lain untuk membentuk sebuah perlawanan. Suku utama Dulaim—terdiri atas al-Bou Nimr, al-Farraj, al-Bou Issa dan al-Fallaha—dan sejumlah pria bersenjata dari klan al-Jamilat, al-Jabour dan al-Janabat membentuk aliansi.

Berbagai kelompok bersenjata yang dulu berperang melawan pasukan AS, mantan milisi Sahwa, dan mantan pasukan keamanan Irak pun telah bergabung dalam satu barisan. Mereka termasuk Hamas-Irak, Kataeb al-Thawrat al-Ishrin, Jamaat al-Naqshbandi, Jaish al-Mujahidin dan kelompok Baath.

Michael Knights, seorang analis di Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat yang telah meneliti kelompok Naqshbandia, menjelaskan bahwa yang paling menonjol dari kelompok perlawanan ini adalah Jaisy Anshar as-Sunnah. Kelompok jihadis ini mengikuti Al-Qaeda. Namun, mereka bukan bagian dari ISIS karena mereka tidak sepakat dengan pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi yang memberontak terhadap pemimpin Al-Qaeda Ayman Zawahiri.

Setelah hampir satu tahun melawan rezim Malaki, kekuatan perlawanan tumbuh. Mereka menguasai beberapa wilayah di timur dan utara Irak yang sebelumnya diduduki oleh pasukan pemerintah. Kota Mosul di Irak utara jatuh pada 5 Juni 2014. Para pejuang secara de facto menguasai provinsi Anbar. Bahkan mereka berhasil menguasai provinsi tetangga Anbar, yakni Nineveh.

The New York Times (NYT) melaporkan, salah satu pemimpin senior pejuang mengatakan, “Kelompok-kelompok ini disatukan oleh tujuan yang sama, yakni menyingkirkan pemerintahan sektarian ini, mengakhiri militer yang korup dan negosiasi untuk membentuk daerah Sunni. Pertempuran yang menentukan akan berada di Baghdad utara. Kelompok-kelompok ini tidak akan berhenti di Tikrit dan akan terus bergerak menuju Baghdad. Rencana serangan telah dimulai dua tahun lalu.”

Kejatuhan Mosul ini mengejutkan dunia. Pasalnya, Mosul adalah kota terbesar kedua di Irak. Informasi di lapangan menunjukkan, pasukan keamanan Irak tidak melawan ketika pejuang Sunni mengambil-alih Mosul, kemudian disusul Kota Tikrit. Pasukan Pemerintah menjatuhkan senjata mereka, melepas seragam mereka dan menggantinya dengan pakaian sipil. Mereka kemudian bergabung dengan penduduk.

Kekalahan militer Irak di Mosul dan Tikrit menimbulkan banyak tanda tanya. Soalnya, apa yang dilakukan oleh pasukan Pemerintah Al-Maliki mirip kepasrahan dan penyerahan, bahkan dengan perintah komando tinggi di militer. Kemudian ada seruan Al-Maliki untuk memobilisasi milisi ketimbang militer. Terjadi peperangan sporadis di Diyali bahkan di dekat Baghdad sampai Beiji. Beiji adalah daerah kilang minyak terbesar yang terjebak dalam hujan mortir, artileri dan bom dari pesawat. Bahkan daerah yang cukup jauh, yakni Tal’afar, pun jatuh.

Ternyata, Jenderal Syiah Mehdi Sabih al-Gharawi yang bertanggung jawab atas Divisi Mosul Army “telah meninggalkan kota” saat pejuang menyerbu kota di utara Irak itu. Al-Gharawi telah bekerja erat dengan militer AS. Dia mengambil-alih komando Mosul pada September 2011 dari US Kolonel Scott McKean.

Tidak aneh, semua berlangsung dalam waktu sangat singkat dan seolah telah ditetapkan tanggal mainnya. Bersamaan dengan itu muncul seruan sektarian yang sangat kental. Pemerintah Malaki mengumumkan bahwa telah terjadi pemberontakan Sunni melawan Syiah. Padahal dalam kenyataannya adalah pemberontakan terhadap penguasa yang menindas. Ini merupakan taktik yang sama yang digunakan oleh Bashar Assad untuk menggalang dukungan untuk dia dan membelokkan dari kegagalan dan penindasan sendiri.

Minim Reaksi Internasional

Anehnya, meskipun kejadian-kejadian ini gamblang sekali, reaksi internasional tidak sepadan dengan apa yang terjadi. Pernyataan-pernyataan para politisi hanya hitungan jari dan tidak sebanding dengan besarnya kejadian. Sebagian mereka menyalahkan krisis Suriah. Sebagian lain menyalahkan pelarangan hak-hak kaum Sunni di Irak. Yang lainnya lagi menimpakan kesalahan kepada diktator Al-Maliki.

Yang paling menonjol adalah pernyataan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Pada Jumat, 13 Juni 2014, Obama menenangkan dunia atas jaminan pasokan minyak dengan menkompensasinya dari cadangan negara-negara Teluk jika pasokan dari Irak terancam bahaya. Ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Amerika tidak terkejut dengan apa yang terjadi di lapangan. Bahkan Pemerintah Amerika telah menyiapkan rencananya lebih dulu untuk menghindari krisis minyak.

Lebih lanjut Obama menegaskan bahwa Washington “tidak akan ikut serta dalam aksi militer di tengah tak adanya rencana politik yang diajukan oleh orang-orang Irak”. Padahal ada perjanjian keamanan antara Amerika dan Irak. Lebih dari itu, Menteri Luar Negeri Irak, Zebari, mengatakan di Jeddah pada Rabu sore 18 Juni 2014 bahwa “Baghdad meminta Washington melancarkan serangan udara terhadap orang-orang bersenjata.” Hal itu dikuatkan oleh Kepala Staf Militer Amerika Jenderal Dempsey di sidang Kongres. Itu artinya, Amerika tidak tergesa-gesa melakukan intervensi, tetapi justru menundanya untuk menyukseskan pengaturan yang lain.

Adapun Inggris—meskipun di Irak berbeda kepentingan dengan Amerika—berjalan mengikuti jalan Amerika. Mengapa? Karena perkaranya berhubungan dengan pemecahbelahan negeri kaum Muslim. Menteri Luar Negeri Inggris William Hague pada 16 Juni 2014 menyatakan kepada BBC ketika ditanya tentang tidak adanya intervensi, “Amerika Serikat memiliki kemampuan dan logistik lebih banyak dari yang dimiliki Inggris berkaitan dengan kemungkinan intervensi di Irak.”

Rencana Lama

Bila disimak ke belakang, kejadian-kejadian yang berlangsung sekarang ini tidak berdiri sendiri. Ini adalah satu episode dari rangkaian episode. Episode ini bukan hanya dimulai oleh Amerika pada saat menginvasi Irak, namun sebelum pendudukan, yaitu sejak Amerika menjatuhkan sanksi zona larangan terbang di wilayah utara Irak tahun 1991. Saat itu, wilayah Kurdistan menjadi mirip sebuah negara!

Ketika Amerika menduduki Irak tahun 2003, Paul Bremer, penguasa Amerika untuk Irak, menetapkan konstitusi yang mengandung benih perpecahan Irak. Bremer membuat konstitusi Irak berdasarkan kuota aliran dan sektarian. Benih perpecahan terus tumbuh. Lalu pada bulan Desember 2011 Amerika keluar dengan penampakan militernya, sementara hakikinya secara keamanan dan politik masih menancap. Kemudian Amerika mendudukkan di atas kursi pemerintahan Irak seorang diktator sektarian tulen, Nuri Al-Maliki.

Selanjutnya al-Maliki sengaja menindas daerah-daerah utara dan barat Irak. Ia berlaku zalim dan menindas. Setiap kali benih itu meredup, dinyalakan lagi dengan aksi-aksi dan ucapan-ucapan provokatif untuk memicu daerah-daerah itu.

Eskalasi sektarian terus meningkat sampai pada pembentukan milisi-milisi bersenjata Syiah. Sebaliknya, negara memfokuskan pada Tanzhim Daulah (ISIS) sebagai teroris Sunni. Padahal organisasi-organisasi yang masuk ke Mosul, Tikrit dan lainnya terdiri dari banyak gerakan, tidak hanya ISIS.

Namun, oleh media Barat justru ISIS yang ditonjolkan. ISIS digambarkan—dengan gaya fantastis ala Hollywood—sebagai sebuah inkarnasi kejahatan di bumi, mengambil-alih peran Al-Qaeda yang sebelumnya memenuhi peran hantu ini. Meski ISIS adalah salah satu pemain dalam koalisi kelompok yang bangkit melawan rezim Irak, secara tidak jujur mereka digambarkan sebagai pemain dominan bahkan pemain satu-satunya yang mendorong gagasan ‘pengambilalihan wilayah oleh teroris’. Di Mosul, 1000 pejuang ISIS digambarkan mampu mengalahkan 30 ribu pasukan Pemerintah.

Masalahnya tidak berhenti pada batas itu. Negara-negara sekitar Irak berlomba menonjolkan aspek sektarian. BasNews pada 20 Juni melaporkan, 150 pejabat intelijen Saudi diam-diam melakukan perjalanan ke pemberontak yang menguasai Kota Mosul melalui Provinsi al-Hasakah Suriah. Diduga negara-negara di kawasan ini telah bekerja pada berbagai isu regional dengan negara-negara Barat.

Bagaimanapun, Amerikalah yang kini berkuasa dan memegang kendali di Irak untuk mengatur segala urusan di negeri tersebut. Di belakang AS ada Inggris serta antek-anteknya yang tidak ingin Irak bersatu-padu. Mereka justru ingin Irak terpecah-pecah, saling bermusuhan dan bersaing serta saling memerangi sebagian terhadap sebagian yang lain! Setiap pihak bersikukuh memiliki daerah kekuasaan dan akhirnya menyerukan secara terbuka kedaerahan dan pemisahan.

Karena perkaranya berjalan tanpa tersembunyi, Kurdistan pun memahami fakta tersebut. Karena itu pada waktu para pemberontak menguasai Mosul, pasukan Bismarakah yang ada di wilayah Kurdistan pun menguasai penuh Kirkuk dan daerah-daerah sekitarnya. Reuters pada 15 Juni 2014 mengutip Fuad Husain, pemimpin Komite Barzani, mengatakan, “Irak masuk ke tahap baru yang sama sekali berbeda dari sebelum penguasaan atas Mosul, dan orang-orang Kurdi akan membahas tatacara berinteraksi dengan Irak baru itu.”

Peta Baru

Irak baru seperti apa? Ini yang patut dicermati. Soalnya, sebelum invasi Amerika ke Irak pada 2003, tidak ada pemberontak Al-Qaeda di Irak. Al-Qaeda itu juga tidak ada di Suriah sampai awal pemberontakan yang didukung AS-NATO-Israel pada Maret 2011.

Analis menyebut ISIS bukanlah entitas independen. Ini adalah ciptaan intelijen AS. Ini merupakan aset intelijen AS, instrumen perang non-konvensional. Tujuan utama AS-NATO atas konflik ini adalah merekayasa penentangan terhadap Pemerintah Maliki. Penonjolan ISIS dimaksudkan untuk menghancurkan dan menggoyahkan Irak sebagai negara-bangsa.

Pembagian Irak sepanjang garis sektarian-etnis telah digambarkan di papan gambar Pentagon selama lebih dari 10 tahun. Pembentukan Kekhalifahan—oleh ISIS—mungkin menjadi langkah pertama menuju konflik lebih luas di Timur Tengah, mengingat bahwa Iran mendukung Pemerintah Al-Maliki dan taktik AS mungkin untuk mendorong campur tangan Iran.

Para analis menilai, pemecahbelahan Irak secara luas meniru Federasi Yugoslavia yang dibagi menjadi tujuh “negara merdeka” (Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Makedonia (FYRM), Slovenia, Montenegro dan Kosovo). Menurut Mahdi Darius Nazemroaya dari Global Research dalam karyanya, Plans for Redrawing the Middle East: The Project for a “New Middle East,” pembagian kembali Irak menjadi tiga negara yang terpisah merupakan bagian dari proses yang lebih luas menggambar ulang peta Timur Tengah. [Humaidi, dari berbagai sumber] (hizbut-tahrir)

Tinggalkan komentar